Busan, 21 September 2025 —
Industri film Indonesia tengah memasuki babak transformasi penting. Data
terbaru menunjukkan adanya perubahan struktural dalam selera penonton. Bila
sebelum pandemi film impor mendominasi layar bioskop dengan angka penonton yang
besar, kini justru film-film lokal berhasil merebut panggung utama. Pergeseran
ini tidak hanya menggambarkan kebangkitan kembali sinema nasional setelah masa
sulit pandemi, tetapi juga menandai tumbuhnya loyalitas baru terhadap
cerita-cerita Indonesia.
Momentum inilah yang menjadi
sorotan JAFF Market, unit industri dari Jogja-NETPAC Asian Film Festival
(JAFF), yang hadir di Asian Contents & Film Market (ACFM) di Busan, Korea
Selatan pada 20–23 September 2025 untuk mempertunjukkan potret terkini perfilman
Indonesia ke kancah internasional. Tahun ini JAFF Market menggandeng Cinepoint
sebagai mitra resmi penyedia data dan memastikan hasil presentasi berbasis
analisis mendalam dan terukur.
Cinepoint, sebagai satu-satunya
platform data bioskop dan film yang terintegrasi di Indonesia, menyediakan data
aktual mengenai jumlah penonton, tren genre, volume produksi, hingga ekspansi layar
bioskop. Data inilah yang menjadi fondasi analisis JAFF Market untuk
menunjukkan bagaimana industri film nasional tengah bergerak menuju masa depan
yang lebih mapan.
Dalam presentasinya kepada pelaku
industri global, JAFF Market menyoroti perubahan signifikan dalam pola konsumsi
penonton. Pada periode 2016–2019, film-film impor masih mendominasi bioskop
Tanah Air, dengan rata-rata 50 juta penonton hanya dari 10 judul teratas setiap
tahun. Sebaliknya, film Indonesia berada pada posisi yang relatif stabil di
kisaran 23 juta penonton.
Namun sejak 2022, peta ini
berbalik. Top-10 film Indonesia kini mampu menggaet 30–40 juta penonton per
tahun, melampaui film impor yang turun ke level 20–25 juta. Pergeseran ini
tidak hanya mencerminkan perubahan preferensi, tetapi juga menandai lahirnya
kepercayaan baru terhadap cerita lokal yang makin beragam, tidak hanya horor
dan drama, tetapi juga komedi dan animasi.
Drama tetap menjadi tulang
punggung produksi nasional, mencerminkan kedekatan tema dengan keseharian
masyarakat. Namun dalam empat tahun terakhir, genre horor muncul sebagai
kekuatan utama dengan lebih dari 50 judul dirilis tiap tahunnya, menawarkan
pengalaman kolektif yang khas di bioskop. Komedi pun tetap hadir dengan
rata-rata 20 judul per tahun, sementara animasi mencetak tonggak baru di box
office tanda bahwa penonton Indonesia mulai membuka diri terhadap ragam bentuk
sinema.
“Keragaman tontonan yang diminati
penonton mencerminkan semakin besarnya kepercayaan pada cerita Indonesia,” ujar
Sekarini Seruni, Business Director JAFF Market. “Penonton tidak hanya
kembali ke bioskop, tetapi juga merayakan keberanian sineas lokal menghadirkan
drama, horor, komedi, hingga animasi. Momentum ini menegaskan vitalitas baru
industri film Indonesia di tingkat global.”
Pertumbuhan jumlah layar bioskop
turut menjadi penggerak vital industri. Hingga 2024, Indonesia telah memiliki
lebih dari 2.200 layar, dengan proyeksi mencapai 2.700 layar pada 2030.
Ekspansi ini didorong oleh pertumbuhan GDP per kapita yang stabil, dominasi
demografi muda, urbanisasi cepat, dan meningkatnya permintaan terhadap hiburan
yang terjangkau terutama di kota-kota lapis kedua dan ketiga, di mana
pembangunan mal mendorong kehadiran bioskop baru.
Meskipun platform streaming terus
berkembang, menonton film di bioskop tetap menjadi bagian dari kebiasaan budaya
yang kuat. Genre seperti horor, komedi, dan event films (film berskala
besar) yang menjadi magnet kolektif seperti film aksi, drama sejarah, atau
adaptasi besar masih menemukan panggung utama di layar lebar.
Dengan lebih dari 126 juta tiket
terjual pada 2024, Indonesia mencatat salah satu tingkat admisi tertinggi di
kawasan Asia pascapandemi. Namun, angka admisi per kapita masih berada di bawah
0,5, menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan jangka panjang masih sangat besar,
terutama seiring dengan ekspansi infrastruktur dan meningkatnya akses publik
terhadap bioskop.
“Bermitra dengan Cinepoint
memungkinkan kami menghadirkan wawasan terintegrasi yang dapat langsung
diterapkan oleh pelaku industri,” ujar Gundy Cahyadi, Head of Analytics JAFF
Market. “Tim analitik JAFF Market secara cermat menganalisis data terkait
jumlah penonton bioskop, perluasan layar, volume produksi konten, serta pola
perilaku penonton yang terus berkembang. Semua ini menjadi fondasi bagi
pengambilan keputusan yang berbasis bukti nyata, real-time, dan relevan bagi
produser, distributor, platform, maupun pembuat kebijakan.”
Hal senada disampaikan oleh Sigit
Prabowo, Co-Founder & President Commissioner Cinepoint. “JAFF Market
adalah mitra yang tepat untuk mengubah data menjadi dampak nyata,” ujarnya.
“Kami bersama-sama membangun ekosistem berbasis bukti yang mendukung
pengambilan keputusan yang lebih cermat dan pertumbuhan industri yang
berkelanjutan dalam jangka panjang.”
Adapun temuan terbaru dari
proyeksi JAFF Market dan Cinepoint menggarisbawahi beberapa tren kunci yang
tengah berlangsung di industri:
- Jumlah penonton bioskop mencapai 126 juta pada
2024, dengan proyeksi stabil di kisaran 100 juta penonton per tahun pada
2026, tumbuh sekitar 10% per tahun.
- Jumlah produksi film diperkirakan meningkat dari
152 judul pada 2024 menjadi sekitar 200 judul per tahun pada 2028.
- Adopsi genre hibrida, seperti horor-komedi atau
horor-reliji, menunjukkan bahwa sinema Indonesia tidak hanya bertumbuh
secara kuantitas, tetapi juga dalam eksplorasi bentuk dan tema.
- Dengan penetrasi layar dan admisi per kapita yang
masih rendah, ruang pertumbuhan jangka panjang Indonesia sangat besar,
baik dalam sisi konsumsi, produksi, maupun ekspor konten.
Temuan-temuan ini akan menjadi
bahasan utama dalam JAFF Market 2025, yang berlangsung pada 29 November – 1
Desember 2025 di Yogyakarta. Memasuki edisi keduanya, JAFF Market 2025 Powered
by Amar Bank kian mengukuhkan diri sebagai platform internasional yang
mempertemukan ide, konten, dan peluang bisnis dalam ekosistem film Asia.
Lima program utama akan digelar.
JAFF Future Project menjadi ruang pengembangan proyek film potensial, sementara
JAFF Content Market membuka pertemuan antara pemilik IP lintas format dan mitra
industri. Talent Day menghadirkan sesi pembinaan bagi kreator muda, sedangkan
Film & Market Conference memfasilitasi diskusi strategis lintas sektor.
Sementara itu, Market Screening menyuguhkan pemutaran karya terkurasi bagi
buyer dan mitra distribusi internasional.
Dengan struktur program yang kian
matang, JAFF Market terus memperluas jangkauan, mempertemukan para pelaku utama
industri, dan mempertegas peran Indonesia sebagai simpul penting dalam jaringan
perfilman Asia.
Seiring itu, Jogja-NETPAC Asian
Film Festival (JAFF) juga akan menggelar perayaan 20 tahun pada 29 November – 6
Desember 2025, dengan program retrospektif, pemutaran perdana, dan forum
internasional yang mempertemukan sineas, pemangku kepentingan, dan festival
dari berbagai negara.
Kehadiran ganda antara festival dan market ini tidak hanya menandai capaian historis dua dekade, tetapi juga memperlihatkan arah baru sinema Asia yang lebih kolaboratif, inklusif, dan kompetitif secara global. JAFF baik festival dan pasarnya kini menjadi garda depan dalam menegaskan posisi Indonesia sebagai simpul penting dalam jaringan ekonomi kreatif Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar